"Dari total investasi infrastruktur sebesar Rp 6.445 triliun yang masuk ke negara antara tahun 2020-2024, swasta memegang peran paling tinggi mencapai 42 persen dari total nilai itu. Sementara BUMN hanya terlibat sebesar 21 persen dan Pemerintah 37 persen."
Jakarta-Pembangunan infrastruktur sedang giat-giatnya dilakukan pemerintah, namun dana APBN saja tentu tak akan cukup untuk membiayai pembangunan maupun peningkatan kualitas infrastruktur yang begitu banyak dibutuhkan di banyak sektor. Mekanisme public private partnership akhirnya digalakan melalui Perpres 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha. Di situ, sektor-sektor apa saja yang memperkenankan swasta terlibat dijabarkan.
Tak cukup sampai KPBU saja, pemerintah juga mengembangkan skema investasi yang betul-betul sama sekali tidak melibatkan dana APBN, yakni Pembiayaan Investasi Non Anggaran (PINA) sejak 2017 lalu. Melalui SK Menteri PPN/Bappenas No. Kep. 121/M.PPN/HK/11/2017 tentang Tim Fasilitasi Pemerintah untuk Pembiayaan Investasi Non Anggaran, akhirnya PINA resmi dibentuk oleh Menteri PPN/Bappenas.
Direktur Kerjasama Pemerintah-Swasta Rancang Bangun Kementerian PPN/BAPPENAS, Sri Bagus Guritno, menjelaskan setidaknya ada lima sasaran utama pembangunan infrastruktur yang sedang dikejar pemerintah periode 2020-2024. Pertama, Infrastruktur pelayanan dasar seperti pemukiman yang layak, transportasi, akses air minum dan lainnya. Kedua, Infrastruktur ekonomi yang meliputi konektivitas tol laut, proyek kereta cepat, pengembangan industri jasa dan pariwisata, pertanian, perkebunan, kelautan dan perikanan.
Ketiga, Infrastruktur perkotaan seperti pembangunan transportasi perkotaan yakni angkutan umum masal 6 kota metropolitan (Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang dan Makassar). Keempat, energi dan ketenagalistrikan seperti jaringan gas kota dan Kelima, Transformasi digital, seperti pengembangan kecepatan internet fix menuju 25 Mbps dan mobile 20 Mbps, cakupan jaringan serat optik.
Lantas bagian mana saja yang termasuk infrastruktur yang hanya dilakukan dengan skema KPBU? Bagian mana saja yang bisa dilakukan dengan skema PINA? Dalam hal apa saja kolaborasi skema KPBU dan PINA bisa dilakukan?
Sri Bagus menjelaskan, KPBU ringkasnya merupakan kerjasama antara pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur dengan tujuan untuk kepentingan umum yang sebagian atau seluruh modalnya menggunakan sumber dari badan usaha dengan sebuah pembagian risiko antar para pihak.
Ia juga menegaskan bentuk KPBU ini sebetulnya bukan merupakan jenis privatisasi, melainkan lebih kepada pengelolaan aset melalui konsesi. Di situ, pengadaan aset yang dilakukan oleh badan usaha akan diserahkan kepada pemerintah setelah kerjasama selesai.
“Dapat berupa kegiatan yang memiliki arus pendapatan (palapa ring) atau tidak memiliki pendapatan (jalintim),” katanya dalam Workshop Hukumonline bertema Perkembangan Kebijakan Pembiayaan Infrastruktur: Skema KPBU & PINA, Kamis (26/9).
Tahapannya, katanya, mulai dari perencanaan, penyiapan, transaksi, masa konstruksi hingga masa konsesi yang meliputi operasi, akhir kontrak dan penyerahan aset kepada pemerintah. Pada masa memasuki financial close itulah, katanya, PINA bisa masuk untuk melakukan kolaborasi dengan proyek KPBU. Adapun kontribusi yang akan diberikan pemerintah kepada swasta meliputi pembiayaan sebagian proyek KPBU, dukungan pemerintah dan Jaminan pemerintah terhadap risiko-risiko tertentu.
Ia juga mengungkapkan, dari total investasi infrastruktur sebesar Rp 6.445 triliun yang masuk ke negara antara tahun 2020-2024, swasta memegang peran paling tinggi mencapai 42 persen dari total nilai itu. Sementara BUMN hanya terlibat sebesar 21 persen dan Pemerintah 37 persen.
Lebih lanjut, Managing Partner Siregar & Djojonegoro Lawfirm, Zippora Siregar, menjelaskan untuk skema KPBU yang dilakukan di tingkat pusat, maka penanggungjawab Proyek Kerjasama (PJPK)nya adalah Menteri/Kepala Lembaga/BUMN. Sementara bila KPBU dilakukan dengan daerah, maka PJPK pemerintah dalam hal ini adalah Kepada Daerah/BUMD. “Kepala daerah bisa Gubernur, Bupati atau Walikota,” jelasnya.
Adapun bentuk pengembalian investasi yang bisa diperoleh Badan Usaha Pelaksana (BUP), katanya, ditetapkan oleh PJPK yang bersangkutan. Pengembalian investasi dimaksud, meliputi Biaya modal, biaya operasional dan keuntungan dari BUP. Lantas dari mana sumber pengembalian investasi kepada BUP itu? Ia menerangkan bisa bersumber dari pembayaran oleh pengguna manfaat dalam bentuk tarif, pembayaran ketersediaan layanan (availability payment) dan bentuk lain (vide; Pasal 11 Perpres No.38 Tahun 2015).
Dukungan tentu diberikan pemerintah sebagai priviledge bagi BUP dalam skema KPBU ini. Dukungan khusus yang diberikan seperti Project Development Facility (PDF), Viability Gap fund (VGF) dan Jaminan Pemerintah terhadap resiko-resiko adanya perubahan aturan perundang-undangan yang berkaitan dengan proyek tersebut. Terlebih bila proyek dimaksud merupakan proyek jangka Panjang.
“Pengalokasian risiko untuk proyek PPP/KPBU ini menjadi hal paling penting diperhatikan pelaku usaha,” jelasnya.
Selanjutnya, PJPK juga akan memberikan beberapa dukungan lain dalam proyek ini, seperti dukungan pengadaan lahan, kontribusi aset, dukungan perizinan serta dukungan mitigasi risiko lainnya.
Setiap proyek di setiap sector tentu mempunyai resikonya sendiri. Untuk proyek jalan tol misalnya, katanya, mungkin risiko paling tingginya adalah tanah atau pembebasan lahan. Soal risiko tarif juga dimungkinkan, tapi sekarang dengan adanya peraturan Menteri Perhubungan yang menentukan tiap berapa lama terjadi kenaikan tarif dan segala macamnya membuat BUP bisa memprediksi kemungkinan tercapainya target hingga berakhirnya masa konsesi.
“Sehingga BUP bisa confident juga memberikan pembiayaan,” katanya.
Lantas bagaimana bedanya KPBU dengan PINA? Peluang apa saja yang tersedia untuk PINA? Chief Relationship Officer PINA Yose Rizal menjelaskan bahwa PINA merupakan skema investasi yang betul-betul sama sekali tidak melibatkan dana APBN, namun tak menutup kemungkinan untuk berkolaborasi dengan proyek KPBU.
Tak seperti kebanyakan stigma, Ia menjelaskan bahwa proyek pembangunan infrastruktur sebetulnya ‘tak melulu’ soal greenfield. Greenfield adalah proyek dengan kategori masih belum berjalan sama sekali, masih tahap perencanaan menuju konstruksi. Imbal hasil dalam proyek ini disebutnya tinggi, seiring dengan risikonya yang juga tinggi mengingat proyek kebanyakan dilakukan untuk jangka Panjang.
“Proyeknya dari nol (0),” katanya.
Selain greenfield, pelaku usaha bisa terlibat dalam PINA untuk proyek dalam kategori brownfield. Brownfield, katanya, sudah melalui pembebasan lahan dan masuk ke proses konstruksi. Selain di kategori brownfield, proyek PINA juga bisa masuk dalam tahapan operasional. Jadi terkait kolaborasi PINA dan KPBU, PINA bisa bergabung dengan skema KPBU pada tahapan financial close.
Walau tergolong baru, Yose menjabarkan setidaknya sudah ada success story pelibatan PINA yang bisa dilihat dalam 11 proyek berikut; Kertajati International Airport, Konstruksi Nusantara Infrastruktur, Proyek Kabel Fiber Optik oleh PT Len Industri (Persero), Proyek Toll Road oleh Citra Marga Nusaphala dan Citra Marga Lintas Jabar, Proyek Power Plant oleh PT PP Energi, Proyek Pendanaan Investasi oleh PT SMI (Sarana Multi Infrastruktur), Proyek Toll Road oleh Waskita, Proyek Plantation oleh PT Perkebunan Nusantara III, Islamic Bonds oleh PT PLN, Renewable Energy oleh Nusantara Infrastruktur dan Renewable Energy oleh Carpediem Elektrikal Nusantara. (yok/red)
0 COMMENTS